(Sebuah catatan saat menghadari Seminar Nasional 'Peran Kalibrasi Metrologi Dalam Peningkatan Daya Saing Produk Nasional', diprakarsai oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), diselenggarakan di Surakarta, dalam rangka Pekan Inovasi Teknologi, tanggal 19 November 2015)

Judul diatas mungkin agak terlalu ekstrim. Tapi sungguh, saya tertarik untuk menggunakan tag tersebut karena juga tergelitik dengan salah satu hal yang diungkap di buku Metrology - in Short, 2nd Edition (Preben Howart and Fiona Redgrave, Euramet e.V, 2008), buku yang kemudian diterjemahkan oleh LIPI, dan disebarluaskan di seminar itu kepada beberapa perwakilan industri Indonesia yang hadir. Sebuah kalimat di pendahuluan yang menyadur manuskrip sejarah kuno 3000 tahun sebelum Masehi, di era pembangunan piramid Mesir, yang kurang lebih terjemahannya seperti ini: Barangsiapa lalai atau lupa mengkalibrasi standar satuan panjang setiap bulan purnama diancam hukuman mati. Saat baca buku ini kemudian saya share ke teman-teman kantor, saat ini bisa jadi hal-hal seperti itu akan menjadi bahan bercandaan. Tapi saya bisa membayangkan betapa ngerinya waktu itu, ketika para arsitek piramid harus menghadapi resiko mati bila lupa mengkalibrasi alat ukurnya.

Lalu sampai seberapa ngeri konsekuensi itu di kehidupan kita saat ini?

Kegiatan mengukur adalah hal yang sepertinya sudah menjadi atmosfer kehidupan kita. Betapa tidak? Coba anda periksa kehidupan anda, baik secara profesional di tempat kerja ataupun mungkin juga keseharian anda di rumah, berapa kali anda mengucap satuan besaran ukuran? Apa saja! entah itu satuan massa, kilogram, gram. Satuan panjang, meter. Sampai satuan yang paling sederhana misalnya berapa buah, berapa butir. Boleh jadi 'hanya' bersifat kualitatif, misal panas, dingin, banyak. Tapi semakin tinggi keinginan kita terhadap pemastian sebuah ukuran, maka biasanya akan menuntut untuk menjadikannya kuantitatif sehingga keluarlah besaran dengan satuan yang misal saya sebut tadi. Dan untuk mendapatkan angkanya, tiada lagi cara lain selain melakukan kegiatan yang dinamakan mengukur.

Dan saat kita mengukur, maka untuk bisa memastikan bahwa setiap -misalnya- 5 kg yang saya bicarakan sama dengan 5 kg yang anda pahami, juga sama dengan 5 kg massa benda yang disepakati internasional, maka tak lain harus ditempuh kegiatan yang dinamai kalibrasi terhadap alat pengukurnya. Sebuah cara sistematik untuk memastikan rantai ketertelusuran setiap alat ukur yang dipakai memiliki tingkat ketepatan yang jelas dengan standar internasional yang disepakati bersama.

Lalu apakah risiko kematian -seperti yang menjadi ancaman bagi arsitek Mesir ketika itu- masih relevan untuk kehidupan kita saat ini? Saya akan dengan yakin berkata lantang: Ya! Walau mungkin risiko kematian itu tidak secara harfiah menjadi konsekuensi yang saat itu juga muncul bila kita tidak mengkalibrasikan alat ukur yang kita pakai. Risiko itu bisa jadi berupa 'kematian' yang perlahan dan sangat lama. Tapi tetap ujung kematian bisa menjadi risiko yang dihadapi. Baik kepada orang, maupun secara kolektif pada sebuah organisasi industri, atau bahkan sebuah negara bila sampai suatu ketika produk sebuah negara tidak lagi mendapat kepercayaan kualitas karena hasil ukuran yang selalu diragukan ketepatannya.

Lalu apakah semua alat ukur harus dikalibrasi? Tentu tidak! Kita bisa pilah mana yang penting, dan tentunya tidak setiap alat ukur harus kita definisikan sebagai hal penting. Seperti kata bijak, bila semua dianggap penting, maka tak ada yang menjadi penting. Ini juga selaras bila ditinjau dari aspek ekonomis efisiensi sumber daya yang menjadi keharusan di setiap organisasi usaha.

Di dalam profesi Pharmaceutical Engineering yang saya geluti, kami mengenal konsep untuk selalu melihat kepentingan salah satunya adalah dari kekritisannya terhadap aspek risiko mutu yang mengancam produk obat. Termasuk juga dalam mengenali setiap intsrumen alat ukur setiap besaran yang digunakan dalam perjalanan produk sejak bahan baku sampai barang jadi, bahkan sampai obat dikonsumsi oleh pasien atau konsumen.  

Dalam analisanya kemudian kita dapatkan, ada kelompok instrumen ukur yang disebut Product Risk, ada kelompok Process Risk, kemudian kelompok Safety Risk, dan sisanya bisa kita anggap sebagai No-Risk. Dari kelompok instrumen yang berpotensi memberi risiko itulah kemudian muncul kebutuhan kita untuk melakukan kalibrasi. Risiko bila tidak? Lihatlah pada kelompok instrumen Produk Risk, misalnya alat ukur kadar obat untuk release produk, yang merupakan turunan dari pengukuran massa. Kesalahan analisa kadar bisa berisiko obat tidak mujarab, atau sebaliknya, kadar yang lebih dari syarat, obat bisa menjadi racun yang membunuh pengguna obat! Kemudian kelompok Process Risk, biasanya ini mencakup instrumen ukur yang terkait efisiensi proses. Risiko paling ujungnya adalah kerugian pada cash-flow perusahaan. Bisa menjadi kematian bila tidak diwaspadai. 'Kematian' bagi perusahaan. Walau mungkin prosesnya sangat lama. Dan kelompok Safety Risk cukup jelas, anda bisa bayangkan bila alat ukur pada kontrol over-pressure sebuah pressure-vessel tidak pernah kalibrasi, kita mungkin tak sadar telah menempatkan operator vessel itu pada bahaya yang setap saat bisa mengancam kematiannya.

Tidak mengkalibrasi alat ukur bisa berarti mati. Agak ekstrim memang, tapi runtutan sebab-akibatnya bisa di-rationale seperti itu. Sehingga seharusnya kalibrasi untuk kelangsungan industri saat ini -apalagi dikaitkan dengan fakta menjelang MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) th 2016 yang menjadi topik seminar-, kalibrasi bukan lagi urusan sekedar melengkapi kegiatan administratif melaksanakan aturan, bukan lagi sekedar pelengkap kepatutan bagi sebuah alat ukur. Tapi kalibrasi seharusnya menjadi sebuah kebutuhan!

 

Pitoyo Amrih

 

Ada sebuah perusahaan fiktif bernama PT MAJU. Perusahaan ini memproduksi air mineral dalam kemasan gelasplastik. Mesin yang dimiliki perusahaan ini adalah mesin pembentuk gelas plastik sekaligus mengisi air mineral, sebanyak dua unit.

Bulan ini pesanan begitu meningkat. Bagian pemasaran yang telah berhasil melakukan promosi membuat bagian produksi jungkir-balik selama dua puluh empat jam menjalankan mesinnya untuk mengejar permintaan bagian pemasaran. Dan sudah terlihat di depan mata, bulan depan pesanan bagian pemasaran naik 30 % dari bulan sekarang. Sementara bulan ini mesin telah jalan siang malam, bahkan minggu pun masuk untuk mengejar kekurangannya.

“Gila! Harus segera saya usulkan membeli satu unit mesin lagi untuk mengejar permintaan bulan depan,” teriak Pak Joni, sang kepala produksi. “Dan awal bulan depan mesin itu sudah di sini..!” imbuhnya.   ...selengkapnya

Bookmark This

Follow Us

Powered by CoalaWeb

 

KupasPitoyo, KumpulanTulisan Pitoyo Amrih, yang juga berbicara tentang Pemberdayaan Diri, ..pemberdayaan berkesinambungan bagi diri sendiri, keluarga, dan bangsa... khususnya melalui budaya..  this link is under construction..

Pitoyo Amrih.... terlibat aktif dalam perumusan penerapan konsep-konsep TPM (Total Productive Maintenance) di perusahaan tempatnya bekerja. Juga pernah memimpin kajian dan penerapan rumusan OEE (Overall Equipment Effectiveness) yang bisa.....  ...selengkapnya