Follow @PitoyoAmrih |
|
"Buku bukunya pak Pitoyo keren keren, cerita wayangnya dimuat dalam novel yang sangat menakjubkan!"
|
Hambalang |
![]() |
![]() |
![]() |
Written by Pitoyo Amrih | |||
Saturday, 15 December 2012 10:15 | |||
![]()
Salah satu dari beliau ini pernah bertanya kepadaku. Tentang bagaimana aku merasakan ‘kahanan’. Karena itulah yang biasa menjadi bahan untukku agar bisa terus berkata, terus berceloteh, terus menyampaikan karep. Ah! Bingung juga kalau aku musti menjelaskan apakah arti ‘kahanan’. Mungkin bahasa Indonesia bisa didekati dengan arti ‘keadaan’. Tapi kalau direnungi, maksud ‘kahanan’ tidak sesederhana ‘keadaan’. Karena ‘keadaan’ biasanya hanya dikenali dengan panca indera, mata, telinga. Tapi ‘kahanan’ lebih dari itu. Harus juga dikenali dengan rasa, hati, intelektual spiritual,.. wuiihh, istilahku ini lama-lama kok ya sulit kupahami sendiri..
Aku pun cerita dengan bergaya, bagaimana menangkap merasakan sebuah kahanan. Melihat, mendengar, mengendus, membaui, meraba, kemudian merasa, merenungi, menempuh perjalanan batin menyusuri bahkan sampai wilayah-wilayah gelap pikiranku sendiri. Terkadang dari situ pun, ‘kahanan’ masih sulit didekati, masih terasa ada jarak terhadap ‘kahanan’. Mungkin sesekali menjalani laku spiritual, puasa, meditasi, bertujuan semakin meningkatkan sensitifitas mendekati ‘kahanan’. Tapi itulah, peta tergambar di kepala mungkin juga masih jauh dari ‘kahanan’. Atau mungkin juga dalam memodelkan dan mengkomunikasikan ‘kahanan’, baik dalam bentuk tulisan, karya seni, puisi, tembang, gerak, terkesan jadi tergagap-gagap dan tampak wagu. Belum lagi kalau karya dari menangkap ‘kahanan’ ini sejak awal tidak hanya diniati sebagai laku dalam upaya menjamah kehidupan dan totalitas pengabdian kepada Sang Pencipta, tapi sudah mulai tercemari dengan gagasan-gagasan agar karya itu nantinya bisa disenangi banyak orang, ujung-ujungnya bisa laku. Bukan berarti itu jelek, karena tetap saja itu bisa ditafsirkan bahwa banyak suka berarti semesta juga mendukung.. Hmm, .. apa maneh iku? Kok ya ada aja istilah jaman sekarang.. Tapi kemudian komentar mereka ini kok mengejutkanku. Ada yang kemudian menyampaikan pendapat bahwa upaya kita seharusnya tidak sekedar menangkap kahanan, tapi juga harus menuju pada sebuah pikiran yang juga merupakan bagian dari kahanan itu sendiri. Ndak mudah memang untuk dipahami. Bahkan ada seorang piyayi yang juga menggunakan istilahnya kanjeng Sunan Drajat tentang Heneng-Hening-Henung. Saat diri diam merenung, saat untuk bisa menuju sebuah keheningan, dan dalam hening itu kita bisa merasakan apa-siapa-mengapa diri kita, untuk apa kita… wah! Semakin sulit! Tapi sungguh, kalau mendengarkan para sesepuh budaya, poro kang budoyo ngomong itu memang terkadang sulit dipahami, tapi yang terdengar itu menentramkan. Aku kan juga sering misalnya mengikuti diskusi di TV acaranya bang Karni Ilyas itu misalnya, ILC. Disana aku yakin semuanya orang pinter-pinter. Bicaranya pratitis, mantep, terstruktur, tapi kok sama sekali tidak menentramkan. Cuma membuat pintar di pikiran tapi tidak meneduhkan spiritual. Ah! Mungkin juga bukan itu tujuannya. Aku inget yang seri ILC kemarin ngomongin yang lagi hangat yaitu masalah Hambalang. Semua berbicara, kadang keras, menyerang pendapat yang lain, membuat getem-getem. Ya, mungkin memang itu maksudnya. Supaya gayeng. Aku pernah iseng bertanya kepada salah satu sesepuh budaya untuk membandingkan sekedar suasana hati atas komentar yang mungkin timbul. Bertanya juga tentang komentar masalah Hambalang. Jawabannya enteng. Masalah Hambalang itu timbul karena orang-orang yang terlibat itu sebenarnya pada kualat. Milih nama kok ya Hambalang,.. abot sanggane,.. Hambalang itu kalau bahasa Jawa artinya ‘melempar dengan sengaja’, sifatnya selalu karena kata kerja itu menyiratkan bahwa hal itu ‘sedang’ dilakukan, kemudian jarak lemparnya biasanya jauh. Wong Jowo itu memang biasanya membuat definisi yang berbeda-beda. Seperti contoh perihal lempar-melempar ini. Ada Hambalang dengan arti seperti di atas, ada istilah Hangembat, mirip dengan Hambalang, sengaja melempar, selalu, tapi jaraknya dekat. Ada juga istilah Hamathak, melempar dengan batu kecil, ada juga Hambandhem, melempar dengan batu besar. Tapi apapun itu, proyek ini sudah terlanjur dinamai Hambalang, dan karena proyek terjadi di tanah Jawa, ya sudah,.. kata kang budoyo ini, proyek akan membuat orang selalu saling lempar masalahnya, nggak pernah berhenti, melemparnya juga dari jauh, artinya yang melempar itu pasti sempat untuk sembunyi, sehingga terkadang membuat kebingungan siapa sebenarnya yang pertama kali melempar. Terus terang dibanding model penjelasan ala ILC, komentar kang budoyo ini tidak akan membuat mudheng, tapi aku yakin akan lebih membuat hati plong, enteng,.. woo, la memang dari namanya sudah begitu. Dan kalau dihubungkan dengan merasakan ‘kahanan’ tadi,.. masalah Hambalang ini sudah bisa jadi ini yang disebut dengan ‘mendem kahanan’, mabok oleh keadaan.. Sama analoginya dengan orang mabok, jelas-jelas membuat mabok kok ya masih diminum..
15 Des 2012 Pitoyo Amrih
|
|||
Last Updated on Saturday, 15 December 2012 10:26 |
Powered by Joomla!. Template by Themza Joomla 1.5. Design by Pitoyo.com. Valid XHTML and CSS.
Pitoyo Dotcom | Jl Cemani Indah D-22, Cemani, Grogol, Sukoharjo, Solo 57552, Indonesia | Telp/Fax +62-271-631671