Written by pitoyo amrih
Tuesday, 22 November 2016 Good X Practices Hits: 8654
Air untuk penggunaan di Industri Farmasi. Terkadang ada beda pendapat di sana-sini. Bisa dipahami, karena dari beberapa standar mainstream yang ada dunia, secara detail ternyata mereka tidak membuatnya dalam pengelompokkan yang sama. Di sebuah pengelompokkan untuk fungsi sama pun diberi terminologi dan dipatok syarat yang berbeda. Lalu, bagaimana ini? Yang penting tidak perlu menjejalkan semua syarat itu pada industri kita. Pastilah akan membuatnya jadi terlalu berlebihan. Biaya yang dikeluarkan terlalu mahal bagi kemanfaatan sesuai kebutuhannya.
Hal pertama yang perlu kita pahami dulu adalah aturan yang paling dekat dengan kita yaitu CPOB. Detailnya dijabarkan di "Petunjuk Teknis: Sarana Penunjang Kritis Industri Farmasi" (Juknis SPK-01/CPOB/2013). Di dalam buku ini dijelaskan tentang: Syarat umum pengelompokkan kategori air, Rekomendasi untuk Proses Produksinya, Syarat Penyimpanan, dan Syarat Pendistribusian. Sementara acuan atribut-atribut mutu syarat air (tiap kategori) itu sendiri, acuan yang paling dekat adalah di Farmakope Indonesia (FI) V (Kemenkes RI, 2013).
Semua kembali kepada kebutuhannya. Apakah Air digunakan sebagai salah satu bahan baku obat? Apakah bahan pencampur, Bahan pelarut? Kemudian bentuk sediaannya, apakah cair berbasis air, dimana sebagian besar kandungannya adalah air. Atau padat, tablet misalnya, yang justru tidak diinginkan adanya kandungan air di sana. Dan satu lagi pertimbangan kebutuhan air adalah pada cara pemberian obat itu sendiri. Misalnya yang paling umum adalah apakah topikal (obat luar), oral (melalui mulut), rektal (melalui anus), parenteral (langsung disuntikkan ke dalam tubuh), dan lain sebagainya. Semua hal itu yang kemudian dari perspektif kefarmasian, akan memberikan kebutuhan syarat mutu bagi penggunaan air, yang dari keterangan di Juknis CPOB, sebagai berikut:
Air Pasokan (Feed Water), secara umum ini sebenarnya bukan bagian dari air untuk bahan baku obat (compendial water). Dia adalah air yang digunakan sebagai bahan baku untuk diolah lebih lanjut menjadi air yang memenuhi syarat bahan baku obat. Seolah sebagai starting-point syarat air untuk diproses menjadi air untuk bahan baku obat. Menariknya di Juknis CPOB ini tidak merujuk secara pasti atribut mutu terhadap jenis ini. Contoh di sana disebutkan tentang penggunaan air dari PDAM, berarti mungkin bisa merujuk pada syarat air bersih Permenkes no 416/Menkes/Per/IX/1990, dengan sekian banyak syarat uji fisika-kimia-biologi disana. Atau bila kita merujuk pada WHO Technical Report Series, No 929, 2005 Annex 3 tentang Water for Pharmaceutical Used, di sana starting-point pengolahan air diberi nama Drinking Water. Sehingga menjadi salah satu pertimbangan bagi praktisi terutama yang ada di Indonesia, untuk menetapkan syarat mutu air pasokan ini dengan Syarat Air Minum yang merujuk pada Permenkes no 492/Menkes/Per/IV/2010.
Air Murni (Purified Water-PW). Metode untuk mendapatkan air murni secara detail mungkin anda bisa googling, banyak sumber menjelaskan, atau mungkin nanti lain kesempatan akan saya jabarkan di sini juga. Yang jelas diujung proses itu ada yang dinamakan proses Reverse Osmosis (R.O), sistem Penukar Ion (De-ionization) dan proses Sanitasi terhadap sistem. Kualitas Air Murni ini paling banyak digunakan di Industri Farmasi untuk kategori non-steril. Nah, syarat mutunya bila mengacu ke yang paling dekat dan terbaru yaitu Farmakope Indonesia (FI) V, tahun 2013, masih sama dengan FI sebelumnya yaitu ada syarat konduktifitas dan sekian banyak syarat kimia-fisika-biologi. Sementara bila mengacu ke US Pharmacopeia (USP) 39, 2016, terdapat syarat mutu utama yaitu Konduktifitas dan TOC (Total Organic Carbon), yang sepanjang saya tahu di Amerika dan Eropa sudah menjadi atirbut mutu yang secara ilmiah bisa 'menggantikan' sekian banyak syarat fisika-kimia-biologi.
Yang menurut saya, kita harus menelaah cukup cermat adalah tentang syarat konduktifitas. Banyak praktisi yang menyederhanakan syarat itu menjadi tidak lebih dari 1,3 µS/cm. Padahal bila dilihat lebih detail ada tiga tahap penentuan penerimaan tentang konduktifitas di sana, yang dalam penetapan syaratnya mempertimbangkan kondisi suhu, perubahan konduktifitas selama waktu tertentu dan pH air itu sendiri. Syarat 1,3 µS/cm sebenarnya pendekatan progresif satu sisi, tapi paling ketat di sisi lain. Artinya misal bila kita telaah lebih lanjut syarat 1,3 µS/cm adalah untuk suhu 25 °C - semakin tinggi suhu semakin besar syaratnya- dan pH 6,6 -semakin rendah dan semakin tinggi pH semakin besar syarat-. Kita dihadapi pilihan apakah kita tetapkan saja 1,3 µS/cm, murah biaya ujinya tapi mungkin kita me-reject air yg masih memenuhi syarat, atau sebaliknya.
Air dengan Tingkat Pemurnian yang Tinggi, disingkat ATPT, terjemahan dari terminologi Highly Purified Water. Terminologi Highly Purified Water ini menarik karena hanya ada di EP (European Pharmacopeia). Syarat mutu sama dengan Water for Injection (WFI) yang akan saya jelaskan berikutnya, tapi boleh dicapai dengan proses yang berbeda. Banyak orang berpendapat bahwa hal ini atas akomodasi dari syarat di Amerika dimana untuk WFI tidak diikat dengan peraturan harus dihasilkan dengan proses distilasi bertingkat (Multi Effect Distillation), sementara secara teknologi hal itu mungkin. Demikian juga di JP (Japanese Pharmacopeia). Sedang di EP sendiri sudah mengikat bahwa WFI harus merupakan hasil proses distilasi bertingkat. Sehingga keluarlah definisi HPW ini, dimana syarat sama dengan WFI tapi boleh dicapai dengan proses selain distilasi bertingkat (umumnya menggunakan proses yang disebut Vapour Compression Distillation atau yang konvensional dengan kombinasi R.O + Ultrafiltration).
Hal yang menjadi pembeda dan perlu diperhatikan adalah, pada proses selain distilasi bertingkat, risiko timbulnya biofilm lebih besar.
Air Untuk Injeksi (Water for Injection - WFI). Memiliki syarat mutu seperti PW, hanya kemudian ada tambahan tentang syarat endotoxin. Adalah syarat air yang digunakan di fasilitas steril terutama untuk obat parenteral.
Di CPOB 'hanya' dipersyaratkan empat kelompok syarat diatas, mungkin mengakomodasi secara umum kebutuhan bahan baku air bagi Industri Farmasi di Indonesia. Karena bila melihat di USP misalnya, ada definisi tentang Water for Hemodialysis, Water for Inhalation, Water for Irrigation dengan masing-masing syarat mutunya.
Setelah menetapkan syarat mutu air sesuai kebutuhannya, maka pilihan selanjutnya adalah desain proses dan teknologi yang dipilih untuk memproduksi air tersebut. Secara umum konsepnya masih 'terbuka'. Walaupun memang sudah dipatok adanya keharusan untuk menggunakan misalnya: R.O, E.D.I (Electro De-Ionization), UV untuk PW, atau Distilasi bertingkat untuk WFI. Proses di sini tidak melulu hanya pada saat generasinya, tapi juga termasuk Storage (penyimpanan) dan distribusinya. Dimana ada hal-hal dan syarat yang perlu diperhatikan. Utamanya dalam rangka agar penurunan mutu saat penyimpanan dan distribusi bisa dihindari. Seperti syarat '1,5 diameter rule' di P.O.U (point of use), syarat turbulensi menggunakan acuan bilangan Reynolds dalam laju alirannya, dsb.
Pitoyo Amrih
Ada sebuah perusahaan fiktif bernama PT MAJU. Perusahaan ini memproduksi air mineral dalam kemasan gelasplastik. Mesin yang dimiliki perusahaan ini adalah mesin pembentuk gelas plastik sekaligus mengisi air mineral, sebanyak dua unit.
Bulan ini pesanan begitu meningkat. Bagian pemasaran yang telah berhasil melakukan promosi membuat bagian produksi jungkir-balik selama dua puluh empat jam menjalankan mesinnya untuk mengejar permintaan bagian pemasaran. Dan sudah terlihat di depan mata, bulan depan pesanan bagian pemasaran naik 30 % dari bulan sekarang. Sementara bulan ini mesin telah jalan siang malam, bahkan minggu pun masuk untuk mengejar kekurangannya.
“Gila! Harus segera saya usulkan membeli satu unit mesin lagi untuk mengejar permintaan bulan depan,” teriak Pak Joni, sang kepala produksi. “Dan awal bulan depan mesin itu sudah di sini..!” imbuhnya. ...selengkapnya
.... terlibat aktif dalam perumusan penerapan konsep-konsep TPM (Total Productive Maintenance) di perusahaan tempatnya bekerja. Juga pernah memimpin kajian dan penerapan rumusan OEE (Overall Equipment Effectiveness) yang bisa..... ...selengkapnya