Di dunia engineering secara umum, proses belajar terus terjadi, seiring dengan tuntutan peningkatan kualitas hidup manusia, maka standar engineering pun terus berkembang dan diperbarui. Tentunya semua itu dalam upaya untuk menjamin produk-produk engineering agar tercapai tujuan functionality-nya, dapat dipertanggungjawabkan secara safety, baik dalam proses produksinya sampai kemudian produk itu digunakan kemanfaatannya, dan yang tak kalah pentingnya yaitu tujuan ekonomis-nya sehingga produk memakan sumber daya sepadan dengan kemanfaatannya plus nilai tambah yang dihasilkan.

Di semua aspek kehidupan terutama pada kegiatan usaha industri manufaktur, apa pun produknya, tak akan pernah terbebas dari kontribusi bidang engineering. Demikian juga di Industri Farmasi. Sehingga mungkin itu yang kemudian mendasari munculnya terminologi Pharmaceutical Engineering. Namun tidak seperti engineering pada umumnya, bidang keilmuan Pharmaceutical Engineering adalah hal yang tidak pernah lengkap dipelajari di bangku sekolah, paling tidak di lingkungan kurikulum perguruan tinggi di Indonesia. Dari sisi ilmu Farmasi, Biologi atau bahkan Bioteknologi sekalipun, yang merambah detail ilmu tentang sediaan obat dan proses produksinya, masih jauh di permukaan ketika kemudian bicara bangunan, sarana penunjang, mesin, otomasi, karena toh bidang detail keilmuan itu harapannya akan di-support oleh ilmu enginering terapan seperti Teknik Mesin, Kimia, Elektro, Mekatronika, Informatika, Sipil. Tapi dilain pihak, seperti misalnya yang saya tahu sendiri adalah kurikulum sarjana teknik mesin yang masih begitu luas, hanya sedikit bahkan mungkin tidak sama sekali memberi bekal perspektif keilmuan dasar tentang industri farmasi. Saat duduk di bangku kuliah Teknik Mesin, mata kuliah desain HVAC, hanya sampai pada ilmu thermodinamika tidak sampai pada wawasan tentang konsep Clean Room misalnya. Atau bicara Mekatronika wawasan otomasi belum menjamah pada perpektif tentang konsep-konsep apa itu Electronic Record, Data Integrity, Electronic Signature, Audit Trail, dsb.

Tapi bila melihat kebutuhan saat ini, memang bisa dipahami, bila dari sisi pengetahuan pharmaceutical engineering, akademisi perguruan tinggi di Indonesia, bahkan sampai jenjang S3 pun sepertinya masih sangat amat kecil jumlahnya. Mungkin karena dari sisi jumlah sendiri, industri farmasi di Indonesia hanya tercatat pada bilangan tak lebih dari 250 industri, yang sebagian besar darinya masih skala kecil-menengah (dari total sekitar 26.000 industri di Indonesia, sektor industri farmasi hanya menyerap sekitar 1% tenaga ahli, sementara 80% terbesar diserap oleh sektor industri garmen, consumer-goods, tambang, perkayuan, energi dan logam - data BPS th 2015). Sehingga para praktisi dan tenaga ahli di industri farmasi dituntut kemauan yang tinggi untuk belajar sesuatu yang mungkin sulit dijumpai di dunia akademisi. Dan itu berlaku di dua sisi: misalnya bagi seorang Pharmacist dia harus mengembangkan wawasannya belajar tentang konsep-konsep engineering. Dan bagi seorang engineer, dia harus mau membuka cakrawala baru yang mungkin tidak ditemuinya di bangku sekolah terutama tentang common practice engineering bagaimana untuk mencapai sebuah standar yang ditetapkan regulasi terhadap industri farmasi.  Jadilah kemudian bidang keilmuan yang disebut Pharmaceutical Engineering, yang khususnya di Indonesia berisi orang-orang praktisi industri tinimbang akademisi dari perguruan tinggi.

Konsep-konsep standar industri farmasi yang dikembangkan regulasi secara global memunculkan terminologi GxP: Good 'X' Practices. dimana X berisi semua aspek yang ditetapkan standarnya dalam industri (sebagian GxP tidak hanya mengikat industri farmasi). Pemenuhan terhadap standar diwakili oleh kata 'Good Practices' yang bersifat dinamis. Ada Good Manufacturing Practices (GMP), Distribution (GDP), Laboratorium (GLP), Documentation (GDocP), Riset (GRP) dan yang akan kita bicarakan di sini sebagai pengantar menuju kajian yang lebih dalam adalah pada cakupan Engineering (GEP: Good Engineering Practices).

Di awal tahun 2007, regulator dan praktisi industri farmasi dunia sepakat untuk merujuk konsep GEP pada ASTM E2500: Standard Guide for Specification, Design, and Verification of Pharmaceutical and Biopharmaceutical Manufacturing Systems and Equipment, yang pada tahun 2016 sudah terdapat revisi terbaru E2500-13. GEP yang mengacu ASTM E2500 ini digambarkan menjadi pondasi sehingga terbangun GxP yang lain, khususnya bila GxP itu melibatkan sistem, mesin dan peralatan di dalamnya. Di buku ISPE Good Practice Guide: Good Engineering Practices (mulai disusun tahun 2008 dan baru resmi terbit pada 2015) dideskripsikan pengertian seperti bagan dibawah:

GEPKita lihat pondasi segitiga dari bawah, aspek engineering pada industri secara umum, berlaku untuk semua industri yang melibatkan engineering di sana, adalah sebuah hal mendasar yang penting untuk dipenuhi. Dalam artian misal pemenuhan terhadap adanya standar minimal requirement-nya, kompetensi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut penting bagi kokohnya pondasi berikutnya yaitu Good Engineering Practices (GEP). Upaya membangun GEP yang baik akan menjamin kokohnya pondasi pemenuhan GxP, juga standar yang lain, misalnya terkait safety, environmental. Sehingga industri farmasi yang memiliki regulatory compliance menjadi sesuatu yang bisa digapai.

Contoh yang membumi misalnya: sebelum kita bicara tentang regulatory compliance pemenuhan kriteria penerimaan Kualifikasi Kinerja (PQ) HVAC, terutama bila itu menyangkut Clean Room, penting bagi kita untuk memastikan awareness terhadap basic GEP pada ruang lingkup hal ini. Bahkan bisa jadi hal-hal tersebut tidak tercantum dalam Kualifikasi Instalasi (IQ) sekalipun. Misalnya: pemilihan material ducting, perlakuan ducting setelah difabrikasi dan sebelum dipasang, pemahaman personil dilapangan tentang pentingnya pemasangan instrumen kritis agar dipastikan akan memberikan hasil pengukuran yang akurat, dsb. Dan itu tidak hanya berlaku bagi praktisi di industri farmasi tapi juga sebaiknya menjadi wawasan bagi kontraktor yang merambah pekerjaan proyek-proyek fasilitas di industri farmasi.

Mungin sedikit menyentuh aspek GEP itu sendiri, bisa dikelompokkan dalam cakupan: Project Engineering, menyangkut kegiatan sejak dari konsep desain, penyusunan URS (User Requirement Specification) sampai dengan commissioning, proses serah terima fasilitas dari kontraktor atauvendor kepada owner dan user. Operation and Maintenance, setelah faslitas di tangan user maka dioperasikan dan dirawat. Dan Common Practice, dimana digelar konsep-konsep yang mengikat kedua hal di atas, yang bisa jadi memiliki dasar regulasi sendiri seperti pada sektor industri farmasi. Semua hal di atas dalam penerapannya akan selalu membawa konsep dasarnya yang berlaku umum yaitu: Organizaton and Control, Cost Management, dan Risk Management. Dalam buku tersebut dibagankan seperti gambar berikut:

GEP Aspek 

Dan bila hal ini kita coba proyeksikan pada peta kemampuan khususnya dari perspektif engineering bagi industri farmasi di Indonesia, yang saya rasakan memang perjalanannya akan panjang untuk mengejar paling tidak mencapai kesetaraan common knowledge terhadap apa yang dituntut dalam regulasi global.

Dan ini berlaku tidak hanya industri farmasi sendiri selaku user dari fasilitas, tapi juga bagi kontraktor, bahkan sampai ke vendor dan supplier komponen, yang walaupun dominan merupakan komponen manufaktur produsen dari negara maju didesain untuk kebutuhan industri farmasi, tapi ketika dikelola oleh distributor lokal, belum tentu memiliki kompetensi yang memadai sehingga komponen tersebut tidak dihargai selayaknya. Umumnya kontraktor dan supplier itu bersifat general, tidak khusus hanya melayani industri farmasi karena memang dari sebaran jumlah industri yang diatas sudah saya sebut, tentunya menjadi tidak ekonomis bila mereka terlalu memagari cakupan hanya pada konsumen industri farmasi sebagai pasar mereka.

Sehingga pada akhirnya, semua kembali kepada user, dalam hal ini praktisi di industri farmasi untuk menjaga gerbang. Tidak hanya bicara pada pemenuhan GxP, tapi sebisa mungkin sampai ke pondasi terhadap upaya pemenuhan GEP. Cukup logis rasanya bila saya berpendapat bahwa keberhasilan Kualifikasi Validasi hanya akan terjadi bila dari awal sejak konsep desain fasilitas dan peralatan sudah dibangun pemahaman untuk upaya pemenuhan dan kepatuhan terhadap konsep-konsep Good Engineering Practices.

Pitoyo Amrih

 

Ada sebuah perusahaan fiktif bernama PT MAJU. Perusahaan ini memproduksi air mineral dalam kemasan gelasplastik. Mesin yang dimiliki perusahaan ini adalah mesin pembentuk gelas plastik sekaligus mengisi air mineral, sebanyak dua unit.

Bulan ini pesanan begitu meningkat. Bagian pemasaran yang telah berhasil melakukan promosi membuat bagian produksi jungkir-balik selama dua puluh empat jam menjalankan mesinnya untuk mengejar permintaan bagian pemasaran. Dan sudah terlihat di depan mata, bulan depan pesanan bagian pemasaran naik 30 % dari bulan sekarang. Sementara bulan ini mesin telah jalan siang malam, bahkan minggu pun masuk untuk mengejar kekurangannya.

“Gila! Harus segera saya usulkan membeli satu unit mesin lagi untuk mengejar permintaan bulan depan,” teriak Pak Joni, sang kepala produksi. “Dan awal bulan depan mesin itu sudah di sini..!” imbuhnya.   ...selengkapnya

Bookmark This

Follow Us

Powered by CoalaWeb

 

KupasPitoyo, KumpulanTulisan Pitoyo Amrih, yang juga berbicara tentang Pemberdayaan Diri, ..pemberdayaan berkesinambungan bagi diri sendiri, keluarga, dan bangsa... khususnya melalui budaya..  this link is under construction..

Pitoyo Amrih.... terlibat aktif dalam perumusan penerapan konsep-konsep TPM (Total Productive Maintenance) di perusahaan tempatnya bekerja. Juga pernah memimpin kajian dan penerapan rumusan OEE (Overall Equipment Effectiveness) yang bisa.....  ...selengkapnya